Biarkan Dia Berbicara
Hari itu para pembesar Quraisy mengadakan sidang umum. Mereka
memperbincangkan berkembangnya gerakan baru yang diasaskan Muhammad. Ada dua
pilihan. To shoot it out atau to talk it out. Membasmi gerakan itu sampai habis
atau mengajaknya bicara sampai tuntas. Pilihan kedua yang diambil.
Untuk itu serombongan Quraisy menemui Nabi saw. Beliau sedang
berada di masjid. Utbah bin Rabi’ah anggota Dar al-Nadwah (parlemen) yang
paling pandai berbicara, berkata : “Wahai kemenakanku! Aku memandangmu sebagai
orang yang terpandang dan termulia diantara kami. Tiba-tiba engkau datang
kepada kami membawa paham baru yang tidak pernah dibawa oleh siapapun sebelum
engkau. Kauresahkan masyarakat, kautimbulkan perpecahan, kaucela agama kami.
Kami khawatir suatu kali terjadilah peperangan diantara kita hingga kita semua
binasa.
Apa sebetulnya yang kaukehendaki. Jika kauinginkan harta, akan
kami kumpulkan kekayaan dan engkau menjadi orang terkaya diantara kami. Jika
kau inginkan kemuliaan, akan kami muliakan engkau sehingga engkau menjadi orang
yang paling mulia. Kami tidak akan memutuskan sesuatu tanpa meminta
pertimbanganmu. Atau, jika ada penyakit yang mengganggumu, yang tidak dapat
kauatasi, akan kami curahkan semua perbendaharaan kami sehingga kami dapatkan
obat untuk menyembuhkanmu. Atau mungkin kauinginkan kekuasaan, kami jadikan
kamu penguasa kami semua.”
Nabi saw mendengarkan dengan sabar. Tidak sekalipun beliau
memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah
selesaikah ya Abal Walid?” Sudah, kata Utbah. Nabi membalas ucapan Utbah dengan
membaca surat Fushilat: “Ha mim. Diturunkan al-Qur’an dari Dia yang Mahakasih
Mahasayang. Sebuah kitab, yang ayat-ayatnya dijelaskan. Qur’an dalam bahasa
Arab untuk kaum yang berilmu…..” Nabi saw terus membaca. ketika sampai ayat
sajdah, ia bersujud.
Sementara itu Utbah duduk mendengarkan sampai Nabi menyelesaikan
bacaannya. kemudian, ia berdiri. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Kaumnya berkata, “lihat, Utbah datang membawa wajah yang lain.”
Utbah duduk di tengah-tengah mereka. perlahan-lahan ia
berbicara, “Wahai kaum Quraisy, aku sudah berbicara seperti yang kalian
perintahkan. Setelah aku berbicara, ia menjawabku dengan suatu pembicaraan.
Demi Allah, kedua telingaku belum pernah mendengar ucapan seperti itu. Aku
tidak tahu apa yang diucapkannya. Wahai kaum Quraisy! Patuhi aku hari ini.
Kelak boleh kalian membantahku. Biarkan laki-laki itu bicara. Tinggalkan dia.
Demi Allah, ia tidak akan berhenti dari gerakannya. Jika ia menang, kemuliannya
adalah kemulianmu juga.”
Orang-orang Quraisy berteriak, “Celaka kamu, hai Abul Walid.
Kamu sudah mengikuti Muhammad”. Orang Quraisy ternyata tidak mengikuti nasihat
Utbah (Hayat al-Shahabah 1:37-40; Tafsir al-durr al-Mansur 7:309, Tafsir Ibn
Katsir 4:90, Tafsir Mizan 17:371) Mereka memilih logika kekuatan, dan bukan
kekuatan logika.
Peristiwa itu sudah lewat ratusan tahun yang lalu. Kita tidak
heran bagaimana Nabi saw. dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah,
tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak Nabi dalam menghormati pendapat orang lain.
Yang menakjubkan kita adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh Utbah, si
musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi saw. dan menyuruh kaumnya
membiarkan Nabi berbicara.
Jangankan mendengarkan pendapat kaum kafir. Kita bahkan tidak
mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Seperti pembesar-pembesar
Quraisy, kita lebih sering memilih shoot it out!
Akankah kita meniru akhlak Rasulullah ? …………. Insya Allah
***
0 komentar:
Posting Komentar