Kisah Nabi Adam as
Syurga yang serba nikmat
Segala kesenangan ada di dalamnya. Semua tersedia apa saja yang
diinginkan, tanpa bersusah payah memperolehnya. Sungguh suatu tempat yang amat
indah dan permai, menjadi idaman setiap insan. Demikianlah menurut riwayat,
tatkala Allah SWT. selesai mencipta alam semesta dan makhluk-makhluk lainnya,
maka dicipta-Nya pula Adam ‘alaihissalam sebagai manusia pertama. Hamba yang
dimuliakan itu ditempatkan Allah SWT di dalam Syurga (Jannah).
Adam a.s hidup sendirian dan sebatang kara, tanpa mempunyai
seorang kawan pun. Ia berjalan ke kiri dan ke kanan, menghadap ke langit-langit
yang tinggi, ke bumi terhampar jauh di seberang, maka tiadalah sesuatu yang
dilihatnya dari mahkluk sejenisnya kecuali burung-burung yang berterbangan ke
sana ke mari, sambil berkejar-kejaran di angkasa bebas, bernyanyi-nyanyi,
bersiul-siul, seolah-olah memamerkan kemesraan.
Adam a.s terpikat melihatnya, rindu berkeadaan demikian. Tetapi
sungguh malang, siapalah gerangan kawan yang hendak diajak. Ia merasa kesepian,
lama sudah. Ia tinggal di syurga bagai orang kebingungan, tiada pasangan yang
akan dibujuk bermesraan sebagaimana burung-burung yang dilihatnya.
Tiada pekerjaan sehari-hari kecuali bermalas-malasan begitu
saja, bersantai berangin-angin di dalam taman syurga yang indah permai, yang
ditumbuhi oleh bermacam-macam bunga semerbak yang wangi, yang di bawahnya
mengalir anak-anak sungai bercabang-cabang, yang desiran airnya bagai
mengandung pembangkit rindu.
Adam kesepian
Apa saja yg ada di dalam syurga semuanya nikmat! Tetapi apalah
arti segalanya kalau hati selalu gelisah, resah di dalam kesepian seorang diri?
Itulah satu-satunya kekurangan yang dirasakan Adam a.s di dalam syurga. Ia
perlu akan sesuatu, iaitu kepada kawan sejenis yang akan mendampinginya di
dalam kesenangan yang tak terhingga itu. Kadangkala kalau rindunya datang,
turunlah ia ke bawah pohon-pohon rindang mencari hiburan, mendengarkan
burung-burung bernyanyi bersahut-sahutan, tetapi aduhai kasihan…bukannya hati
menjadi tenteram, malah menjadi lebih tertikam. Kalau angin bertiup sepoi-sepoi
basah di mana daun-daunan bergerak lemah gemulai dan mendesirkan suara
sayup-sayup, maka terkesanlah di hatinya keharuan yang begitu mendalam;
dirasakannya sebagai derita batin yang dalam dibalik kenikmatan yang
dianugerahkan Allah kepadanya.
Tetapi walaupun demikian, agaknya Adam a.s malu mengadukan
halnya kepada Allah SWT. Namun, walaupun Adam a.s malu untuk mengadu, Allah
Ta’ala sendiri Maha Tahu serta Maha Melihat apa yang tersembunyi di kalbu
hamba-Nya. Oleh karena itu Allah Ta’ala ingin mengusir rasa kesepian Adam.
Hawa diciptakan
Tatkala Adam a.s sudah berada di puncak kerinduan dan keinginan
untuk mendapatkan kawan, sedang ia lagi duduk termenung di atas tempat duduk
yang berlapiskan tilam permadani serba mewah, maka tiba-tiba ngantukpun datang
menawannya serta langsung membawanya hanyut ke alam tidur.
Adam a.s tertidur nyenyak, tak sadar kepada sesuatu yang ada di
sekitarnya. Dalam saat-saat yang demikian itulah Allah SWT menyampaikan wahyu
kepada malaikat Jibril a.s untuk mencabut tulang rusuk Adam a.s dari lambung
sebelah kiri. Bagai orang yang sedang terbius, Adam a.s tidak merasakan apa-apa
ketika tulang rusuknya dicabut oleh malaikat Jibril a.s.
Dan oleh kudrat kuasa Ilahi yang manakala menghendaki terjadinya
sesuatu cukup berkata “Kun!” maka terciptalah Hawa dari tulang rusuk Adam a.s,
sebagai insan kedua penghuni syurga dan sebagai pelengkap kurnia yang
dianugerahkan kepada Adam a.s yang mendambakan seorang kawan tempat ia bisa
bermesraan dan bersenda gurau.
Pertemuan Adam dan Hawa
Hawa duduk bersandar pada bantal lembut di atas tempat duduk
megah yang bertatahkan emas dan permata-permata bermutu manikam, sambil
terpesona memperhatikan kecerahan wajah dari seorang lelaki yang sedang terbaring,
tak jauh di depannya.
Butir-butir fikiran yang menggelombang di dalam sanubari Hawa
seolah-olah merupakan arus-arus tenaga listrik yang datang mengetuk kalbu Adam
a.s, yang langsung menerimanya sebagai mimpi yang berkesan di dalam gambaran
jiwanya seketika itu.
Adam terjaga….! Alangkah terkejutnya ia ketika dilihatnya ada
makhluk manusia seperti dirinya hanya beberapa langkah di hadapannya. Ia seolah
tak percaya pada penglihatannya. Ia masih terbaring mengusap matanya beberapa
kali untuk memastikan apa yang sedang dilihatnya.
Hawa yang diciptakan lengkap dengan perasaan malu, segera
memutar badannya sekedar untuk menyembunyikan bukit-bukit di dadanya, seraya
mengirimkan senyum manis bercampur manja, diiringi pandangan melirik dari sudut
mata yang memberikan sinar harapan bagi hati yang melihatnya.
Memang dijadikan Hawa dengan bentuk dan paras rupa yang
sempurna. Ia dihiasi dengan kecantikan, kemanisan, keindahan, kejelitaan,
kehalusan, kelemah-lembutan, kasih-sayang, kesucian, keibuan dan segala sifat-sifat
keperibadian yang terpuji di samping bentuk tubuhnya yang mempesona serta
memikat hati setiap yang memandangnya.
Ia adalah wanita tercantik yang menghiasai syurga, yang
kecantikannya itu akan diwariskan turun temurun di hari kemudian, dan
daripadanyalah maka ada kecantikan yang diwariskan kepada wanita-wanita yang
datang dibelakangnya.
Adam a.s pun tak kurang gagah dan gantengnya. Tidak dijumpai
cacat pada dirinya karena ia adalah satu-satunya makhluk insan yang dicipta
oleh Allah SWT secara langsung tanpa perantaraan.
Semua ketampanan yang diperuntukkan bagi lelaki terkumpul
padanya. Ketampanan itu pulalah yang diwariskan turun temurun kepada
orang-orang di belakangnya sebagai anugerah Allah SWT kepada makhluk-Nya yang
bergelar manusia. Bahkan diriwayatkan bahwa kelak semua penduduk syurga akan
dibangkitkan dengan pantulan dari cahaya rupa Adam a.s.
Adam a.s bangkit dari pembaringannya, memperbaiki duduknya. Ia
membuka matanya, memperhatikan dengan pandangan tajam. Ia sadar bahwa orang
asing di depannya itu bukanlah bayangan selintas pandang, namun benar-benar
suatu kenyataan dari wujud insani yang mempunyai bentuk fisik seperti dirinya.
Ia yakin ia tidak salah pandang. Ia tahu itu manusia seperti dirinya, yang
hanya berbeda kelaminnya saja. Ia serta merta dapat membuat kesimpulan bahwa
makhluk di depannya adalah perempuan. Ia sadar bahwa itulah jenis yang
dirindukannya. Hatinya gembira, bersyukur, bertahmid memuji Zat Maha Pencipta.
Ia tertawa kepada gadis jelita itu, yang menyambutnya tersipu-sipu seraya
menundukkan kepalanya dengan pandangan tak langsung, pandangan yang menyingkap
apa yang terselip di kalbunya.
Adam terpikat
Adam terpikat pada wajah Hawa yang jelita, yang bagaikan
kecantikan bidadari-bidadari di dalam syurga. Tuhan menanam asmara murni dan
hasrat birahi di hati Adam a.s serta menjadikannya orang yang paling asyik
dilamun cinta, yang tiada taranya dalam sejarah, yaitu kisah cinta dua insan di
dalam syurga. Adam a.s ditakdirkan jatuh cinta kepada puteri yang paling cantik
dari segala yang cantik, yang paling jelita dari segala yang jelita, dan yang
paling harum dari segala yang harum.
Adam a.s dibisikkan oleh hatinya agar merayu Hawa. Ia berseru:
“Aduh, hai si jelita, siapakah gerangan kekasih ini? Dari manakah datangmu, dan
untuk siapakah engkau disini?” Suaranya sopan, lembut, dan penuh kasih sayang.
“Aku Hawa,” sambutnya ramah. “Aku dari Pencipta!” suaranya tertegun seketika.
“Aku….aku….aku, dijadikan untukmu!” tekanan suaranya menyakinkan.
Tiada suara yang seindah dan semerdu itu walaupun berbagai suara
merdu dan indah terdengar setiap saat di dalam syurga. Tetapi suara Hawa….tidak
pernah di dengarnya suara sebegitu indah yang keluar dari bibir mungil si
wanita jelita itu. Suaranya membangkitkan rindu, gerakan tubuhnya menimbulkan
semangat.
Kata-kata yang paling segar didengar Adam a.s ialah tatkala Hawa
mengucapkan terputus-putus: “Aku….aku….aku, dijadikan untukmu!” Kata-kata itu
nikmat, menambah kemesraan Adam kepada Hawa.
Adam a.s sadar bahwa nikmat itu datang dari Tuhan dan cintapun datang
dari Tuhan. Ia tahu bahwa Allah SWT itu cantik, suka kepada kecantikan. Jadi,
kalau cinta kepada kecantikan berartilah pula cinta kepada Tuhan. Jadi cinta
itu bukan dosa tetapi malah suatu pengabdian. Dengan mengenali cinta, makrifat
kepada Tuhan semakin mendalam. Cinta kepada Hawa berarti cinta kepada Pencipta.
Dengan keyakinan demikian Adam a.s menjemput Hawa dengan berkata: “Kekasihku,
ke marilah engkau!” Suaranya halus, penuh kemesraan.
“Aku malu!” balas Hawa seolah-olah menolak. Tangannya, kepalanya,
memberi isyarat menolak seraya memandang Adam dengan penuh ketakjuban. “Kalau
engkau yang inginkan aku, engkaulah yang ke sini!” Suaranya yang bagaikan irama
seolah-olah memberi harapan. Adam tidak ragu-ragu. Ia mengayuh langkah gagah
mendatangi Hawa. Maka sejak itulah menjadi adat bahwa wanita itu didatangi,
bukan mendatangi.
Hawa bangkit dari tempat duduknya, bergeser beberapa langkah ke
belakang. Ia sadar bahwa walaupun dirinya diperuntukkan bagi Adam a.s, namunlah
haruslah mempunyai syarat-syarat tertentu. Di dalam sanubarinya, ia tak dapat
menyangkal bahwa iapun terpesona dan tertarik kepada wajah Adam a.s yang
sungguh indah.
Adam a.s tidak putus asa. Ia tahu itu bukan dosa. Ia tahu
membaca isi hati. Ia tahu bukannya Hawa menolak, tetapi menghindarnya itu
memanglah suatu perbuatan wajar dari sikap malu seorang gadis yang berbudi. Ia
tahu bahwa di balik “malu” terselit “rasa mau”. Karenanya ia yakin pada dirinya
bahwa Hawa diperuntukkan baginya. Naluri insaninya bergelora. Tatkala ia sudah
dekat pada Hawa serta hendak mengulurkan tangan sucinya kepadanya, maka
tiba-tiba terdengarlah panggilan ghaib berseru: “Hai Adam….tahanlah dirimu.
Pergaulanmu dengan Hawa tidak halal kecuali dengan mahar dan menikah!”. Adam
a.s tertegun, kembali ke tempatnya dengan taat. Hawa pun mendengar teguran itu
dan hatinya tenteram.
Kedua manusia syurga itu sama-sama terdiam seolah-olah menunggu
perintah.
Perkawinan Adam dan Hawa
Allah SWT. Yang Maha Pengasih untuk menyempurnakan nikmatnya
lahir dan batin kepada kedua hamba-Nya yang saling memerlukan itu, segera
memerintahkan gadis-gadis bidadari penghuni syurga untuk menghiasi dan
menghibur mempelai perempuan itu serta membawakan kepadanya perhiasan-perhiasan
syurga. Sementara itu diperintahkan pula kepada malaikat langit untuk berkumpul
bersama-sama di bawah pohon “Syajarah Thuba”, menjadi saksi atas pernikahan
Adam dan Hawa.
Diriwayatkan bahwa pada akad pernikahan itu Allah SWT.
berfirman: “Segala puji adalah kepunyaan-Ku, segala kebesaran adalah
pakaian-Ku, segala kemegahan adalah hiasan-Ku dan segala makhluk adalah
hamba-Ku dan di bawah kekuasaan-Ku. Menjadi saksilah kamu hai para malaikat dan
para penghuni langit dan syurga bahwa Aku menikahkan Hawa dengan Adam, kedua
ciptaan-Ku dengan mahar, dan hendaklah keduanya bertahlil dan bertahmid
kepada-Ku!”.
Malaikat dan para bidadari berdatangan
Setelah akad nikah selesai berdatanganlah para malaikat dan para
bidadari menyebarkan mutiara-mutiara yaqut dan intan-intan permata kemilau
kepada kedua pengantin agung tersebut. Selesai upacara akad, diantarlah Adam
a.s mendapatkan isterinya di istana megah yang akan mereka diami.
Hawa menuntut haknya. Hak yang disyariatkan Tuhan sejak semula.
“Mana mahar?” tanyanya. Ia menolak bersentuhan sebelum mahar pemberian dibayar
dulu.
Adam a.s bingung seketika. Lalu sadar bahwa untuk menerima
haruslah bersedia memberi. Ia insaf bahwa yang demikian itu haruslah menjadi
kaidah pertama dalam pergaulan hidup.
Sekarang ia sudah mempunyai kawan. Antara sesama kawan harus ada
saling memberi dan saling menerima. Pemberian pertama pada pernikahan untuk
menerima kehalalan ialah mahar. Oleh karenanya Adam a.s menyedari bahwa
tuntutan Hawa untuk menerima mahar adalah benar.
Mahar perkahwinan Adam
Pergaulan hidup adalah persahabatan! Dan pergaulan antara lelaki
dengan wanita akan berubah menjadi perkawinan apabila disertai dengan mahar.
Dan kini apakah bentuk mahar yang harus diberikan? Itulah yang sedang
dipikirkan Adam.
Untuk keluar dari keraguan, Adam a.s berseru: “Ilahi, Rabbi!
Apakah gerangan yang akan kuberikan kepadanya? Emaskah, intankah, perak atau
permata?”. “Bukan!” kata Tuhan. “Apakah hamba akan berpuasa atau sholat atau
bertasbih untuk-Mu sebagai maharnya?” tanya Adam a.s dengan penuh pengharapan.
“Bukan!” tegas suara Ghaib. Adam diam, mententeramkan jiwanya. Kemudian
bermohon dengan tekun: “Kalau begitu tunjukilah hamba-Mu jalan keluar!”.
Allah SWT. berfirman: “Mahar Hawa ialah sholawat sepuluh kali
kepada Nabi-Ku, Nabi yang bakal Kubangkitkan, yang membawa pernyataan dari
sifat-sifat-Ku: Muhammad, cincin permata dari para anbiya’ dan penutup serta
penghulu segala Rasul. Ucapkanlah sepuluh kali!”.
Adam a.s merasa lega. Ia mengucapkan sepuluh kali sholawat ke
atas Nabi Muhammad SAW. sebagai mahar kepada isterinya. Suatu mahar yang
bernilai spiritual, karena Nabi Muhammad SAW adalah rohmatan lil ‘alamin
(rahmat bagi seluruh alam).
Hawa mendengarkannya dan menerimanya sebagai mahar. “Hai Adam,
kini Aku halalkan Hawa bagimu”, perintah Allah, “dan dapatlah ia sebagai
isterimu!”. Adam a.s bersyukur lalu masuk kamar isterinya dengan ucapan salam.
Hawa menyambutnya dengan segala keterbukaan dan cinta kasih yang tulus Allah
SWT. berfirman kepada mereka: “Hai Adam, diamlah engkau bersama isterimu di
dalam syurga dan makanlah (serta nikmatilah) apa saja yang kamu berdua ingini,
dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini karena (apabila mendekatinya)
kamu berdua akan menjadi zalim”. (Al-A’raaf: 19). Dengan pernikahan ini Adam
a.s tidak lagi merasa kesepian di dalam syurga. Inilah percintaan dan
pernikahan yang pertama dalam sejarah ummat manusia, dan berlangsung di dalam
syurga yang penuh kenikmatan. yaitu sebuah pernikahan agung yang dihadiri oleh
para bidadari, jin dan disaksikan oleh para malaikat.
Peristiwa pernikahan Adam dan Hawa terjadi pada hari Jum’at. Entah
berapa lama keduanya berdiam di syurga, hanya Allah SWT yang tahu. Lalu
keduanya diperintahkan turun ke bumi. Turun ke bumi untuk menyebar luaskan
keturunan yang akan mengabdi kepada Allah SWT dengan janji bahwa syurga itu
tetap tersedia di hari kemudian bagi hamba-hamba yang beriman dan beramal
sholeh.
Firman Allah SWT.: “Kami berfirman: Turunlah kamu dari syurga
itu. Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 38).
***
0 komentar:
Posting Komentar