Menangkap Peluang Kebajikan
Hidup kadang tak ubahnya seperti merawat bunga mahal. Perlu
ketelitian dan kesabaran agar bunga tetap indah. Sedikit saja sembrono, bukan
saja bunga indah menjadi layu. Tapi, penyakitnya bisa menular ke bunga lain.
Ada yang gelisah ketika sampai tiga kali Rasulullah saw.
menyebut akan datang ahli surga. Dan tiga kali pula orang yang datang selalu
dia. Beliau adalah Saad bin Abi Waqash. Kegelisahan pun menjadikan Abdullah bin
Umar menyatakan diri ingin bertandang ke rumah Saad.
Satu hari ia bermalam di rumah Saad, tapi hasilnya biasa-biasa
saja. Tidak ada ibadah istimewa yang berbeda dengan yang biasa diamalkan para
sahabat lain. Hingga lebih dari dua malam, Ibnu Umar terus terang. “Saya cuma
ingin tahu, amal istimewa apa yang Anda lakukan hingga Rasul menyebut Anda ahli
surga,” begitulah kira-kira ucap putera Umar bin Khathab ini.
Saad dengan tanpa sedikit pun merasa bangga mengatakan, “Tidak
ada perbuatan ibadah saya yang istimewa. Kecuali, tiap menjelang tidur, saya
selalu membersihkan hati saya dari hasad, kecewa, dan benci dengan semua
saudara mukmin selama pagi hingga malam. Itu saja!” Seperti itulah jawaban
Saad. Sederhana, tapi istimewa.
Berbeda dengan Ibnu Umar, Thalhah pun pernah gelisah. Beliau
khawatir kalau sebuah ayat yang baru saja turun berkenaan dengan dirinya. Ayat
itu berbunyi, “Kamu sekali-kali tidak sampai
kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang
kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahui.” (QS.
3: 92)
Soalnya, ada satu kebun kurma subur milik Thalhah yang begitu
menambat hatinya. Hampir tiap hari ia berkunjung ke situ. Shalat Zuhur dan
Ashar di situ, tilawah dan zikir pun di kebun indah itu. Ia nikmati kicauan
burung, dan pemandangan sejuk hijaunya dedaunan kurma.
Menariknya, kegelisahan itu tidak ia tanyakan ke Rasulullah.
Tapi, langsung ia infakkan buat jalan dakwah. Ia nyatakan di hadapan Rasul
kalau kebun kesayangannya itu diwakafkan buat kepentingan perjuangan Islam.
Subhanallah!
Begitulah para sahabat Rasul. Mereka begitu gelisah ketika diri
belum berhasil menangkap peluang kebaikan. Padahal, peluang itu sudah
ditawarkan melalui ayat Alquran yang baru saja turun atau ucapan Rasul.
Kegelisahan itu belum akan sembuh hingga mereka benar-benar telah mengambil
peluang itu dengan sebaik-baiknya.
Itulah sikap ihsan yang dicontohkan para sahabat dalam menata
diri. Mereka begitu menjaga mutu amal agar tetap the best. Selalu terdepan.
Tidak heran jika semangat fastabiqul khairat atau lomba berbuat baik begitu
memasyarakat di kalangan sahabat Rasul.
Mereka seperti terbingkai dalam sebuah ayat Alquran tentang
generasi pewaris Nabi. Dalam surah Faathir ayat 32. “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang
yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu, di antara mereka ada yang
menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di
antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.
Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.”
Sikap ihsan itulah yang menjadikan para sahabat Rasul selalu
punya hubungan harmonis dengan Yang Maha Penyayang, Allah swt. Hati mereka
begitu terpaut dengan mutu ibadah yang serba terbaik. Tidak heran jika berkah
kemenangan selalu memancar di tiap sepak terjang perjuangan mereka. Siapa pun
yang mereka lawan. Dan seperti apa pun kendala perjuangan yang mereka hadapi.
Begitu pun dalam hubungan muamalah sesama manusia. Mereka tidak
sedang menyulam benang vertikal sementara tali horisontal terburai. Hubungan
kepada Allah selalu the best, dan kepada manusia sangat terawat. Tidak ada
hubungan dagang, perjanjian, hidup bertetangga yang cacat.
Mereka begitu sempurna karena setidaknya ada tiga hal. Pertama,
pemahaman dan ketaatan yang begitu utuh terhadap aturan Islam. Mungkin ini
wajar karena Islam yang mereka peroleh langsung dari sumbernya yang pertama,
Rasulullah saw.
Kedua, kehausan mereka dengan ilmu selalu berdampak pada perubahan
dalam diri dan amal di hadapan manusia. Ini mungkin yang mahal. Mereka belajar
Islam bukan buat sekadar ilmu pengetahuan. Apalagi, cuma kliping materi. Tapi,
benar-benar sebagai penuntun langkah yang segera mereka ayunkan.
Dan ketiga, adanya keteladanan dari pihak yang sangat mereka
hormati. Inilah yang mungkin langka. Tapi, ini pula yang akhirnya menentukan.
Membumi tidaknya sebuah nilai di tengah masyarakat sangat bergantung dari sepak
terjang pelopornya. Cocokkah antara ucapan dan perbuatan. Jika klop, nilai akan
berkembang pesat. Tapi jika sebaliknya, sebuah nilai hanya sekadar kumpulan
pengetahuan yang cuma bagus dalam lemari pajangan.
Allah swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Inilah jalan
(agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang
yang musyrik.” (QS.
Yusuf: 108)
‘Aku dan orang yang mengikutiku’. Itulah simbol keteladanan yang
berbuah ketaatan dan semangat kerja yang selalu membara.
Dalam hal apa pun, Allah swt. meminta hamba-hambaNya untuk
selalu ihsan. Termasuk dengan hewan. “Sesungguhnya Allah swt.
mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu. Apabila kamu membunuh, hendaknya
membunuh dengan cara yang baik. Dan jika menyembelih, maka sembelihlah dengan
cara yang baik: menajamkan pisau dan menyenangkan hewan sembelihan itu.” (HR. Muslim)
***
0 komentar:
Posting Komentar