Istana Umar bin Khattab
“Dimanakan istana raja negeri ini?” tanya seorang Yahudi dari
Mesir yang baru saja tiba di pusat pemerintahan Islam, Madinah.
“Lepas Dzuhur nanti beliau akan berada di tempat istirahatnya di
depan masjid, dekat batang kurma itu,” jawab lelaki yang ditanya.
Dalam benak si Yahudi Mesir itu terbayang keindahan istana
khalifah. Apalagi umat Islam sedang di puncak jayanya. Tentu bangunan
kerajaannya pastilah sebuah bangunan yang megah dengan dihiasi kebun kurma yang
rindang tempat berteduh khalifah.
Namun, lelaki itu tidak mendapati dalam kenyataan bangunan yang
ada dalam benaknya itu. Dia jadi bingung dibuatnya. Sebab di tempat yang
ditunjuk oleh lelaki yang ditanya tadi tidak ada bangunan megah yang mirip
istana. Memang ada pohon kurma tetapi cuman sebatang. Di bawah pohon kurma,
tampak seorang lelaki bertubuh tinggi besar memakai jubah kusam. Lelaki
berjubah kusam itu tampak tidur-tiduran ayam atau mungkin juga sedang
berdzikir. Yahudi itu tidak punya pilihan selain mendekati lelaki yang
bersender di bawah batang kurma, “Maaf, saya ingin bertemu dengan Umar bin
Khattab,” tanyanya.
Lelaki yang ditanya bangkit, “Akulah Umar bin Khattab.”
Yahudi itu terbengong-bengong, “Maksud saya Umar yang khalifah,
pemimpin negeri ini,” katanya menegaskan.
“Ya, akulah khalifah pemimpin negeri ini,” kata Umar bin Khattab
tak kalah tegas.
Mulut Yahudi itu terkunci, takjub bukan buatan. Jelas semua itu
jauh dari bayangannya. Jauh sekali kalau dibandingkan dengan para rahib Yahudi
yang hidupnya serba wah. Itu baru kelas rahib, tentu akan lebih jauh lagi kalau
dibandingkan dengan gaya hidup rajanya yang sudah jamak hidup dengan istana
serba gemerlap.
Sungguh sama sekali tidak terlintas di benaknya, ada seorang
pemimpin yang kaumnya tengah berjaya, tempat istirahatnya cuma dengan menggelar
selembar tikar di bawah pohon kurma beratapkan langit lagi.
“Di manakah istana tuan?” tanya si Yahudi di antara rasa
penasarannya.
Khalifah Umar bin Khattab menuding, “Kalau yang kau maksud
kediamanku maka dia ada di sudut jalan itu, bangunan nomor tiga dari yang
terakhir.”
“Itu? Bangunan yang kecil dan kusam?”
“Ya! Namun itu bukan istanaku. Sebab istanaku berada di dalam
hati yang tentram dengan ibadah kepada Allah.”
Yahudi itu tertunduk. Hatinya yang semula panas oleh kemarahan
karena ditimbuni berbagai rasa tidak puas hingga kemarahannya memuncak, cair
sudah. “Tuan, saksikanlah, sejak hari ini saya yakini kebenaran agama Tuan.
Ijinkan saya menjadi pemeluk Islam sampai mati.”
Mata si Yahudi itu terasa hangat lalu membentuk kolam. Akhirnya
satu-persatu tetes air matanya jatuh.
***
0 komentar:
Posting Komentar