Kisah Yusuf dan Zulaiha
Sungguh berat malam yang panas itu dirasakan oleh Ra’il, wanita
cantik yang biasa dipanggil dengan nama Zulaiha. Ia senantiasa mempercantik
paras, menghias diri, dan memakai wangi-wangian. Kemudian berdiri, pagi dan
petang, di beranda istananya di atas Sungai Nil, dalam kegelisahan yang tak
jelas penyebabnya.
Angin sepoi bertiup tenang dan halus, seakan enggan mengusik
ranting-ranting pohon bunga yang mengelilingi beranda istana itu, Zulaiha
memandangi sungai dan airnya yang tenang, dan sesekali wajahnya menoleh ke
atas, melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit nan tinggi,
mengelilingi bulan yang sebagian sinarnya terhalang oleh awan.
Sesaat kemudian, seorang pelayan menghampiri dengan segelas sari
buah dingin untuknya, tetapi sang puteri menolak dan malah memerintahkan
pelayan itu untuk kembali. Nafasnya semakin menyesakkan, serasa hampir-hampir
mencekik lehernya. Dia sendiri tidak tahu apa yang digelisahkannya. Kecantikan?
Bukan! Dia wanita tercantik di seluruh Mesir. Anak? Mungkin itu benar, sebab
sampai saat ini ia belum dikaruniai seorang anak pun.
Sebenarnya ia dapat saja mengambil anak angkat yang disukainya,
sebab ia orang terkaya di negeri itu. Tapi naluri keibuannya ternyata menentang
niatnya. Dia ingin mengandung dan melahirkan puteranya sendiri, sebagaimana
wanita-wanita lain. Tapi suratan takdir menghendaki lain, suaminya tidak kuasa
mengubah impiannya menjadi kenyataan.
Berkecamuklah semua fikiran itu di kepalanya. Ia terlena dalam
lamunannya, sampai suara halus suaminya tiba-tiba mengejutkan hatinya.
“Ra’il, isteriku yang cantik, bergembiralah!” Kata suaminya
sambil menunjukkan sesuatu.
Zulaiha menoleh kepada suaminya, dan betapa terkejut ketika ia
lihat suaminya datang bersama seorang anak kecil.
“Siapa namamu?” tanya Zulaiha. Dengan suara yang hampir-hampir
tidak terdengar, anak itu menjawab, “Yusuf”.
Al-Aziz, suami Zulaiha, kemudian mengikutinya dari belakang
serta berkata, “Telah kubeli ia dari kafilah yang kutemui disebuah telaga di
padang pasir. Berikanlah kepadanya tempat dan layanan yang baik, boleh jadi ia
bermanfaat bagi kita, atau kita pungut ia sebagai anak”.
Isteri al-Aziz tidak mengetahui takdir apa yang bakal terjadi
antara dia dan anak itu di hari-hari yang akan datang. Yang jelas ia merasa
senang atas kedatangan anak itu, dan hilanglah kesedihan yang selama ini
menghimpit dadanya. Hari-hari berlalu. Yusuf semakin besar dan menjadi dewasa.
Wajahnya tampak semakin tampan. Isteri Aziz tidak mengerti kebahagiaan apa yang
meresap di hatinya setiap kali ia memandang Yusuf, dan kesedihan yang
menghantuinya ketika Yusuf hilang dari pandangannya.
Setiap kali malam tiba, dan Yusuf pergi ke kamar tidurnya,
Zulaiha merasa ada sesuatu yang mengusik lubuk jiwanya, sehingga kadang kala ia
bangun meninggalkan suaminya yang sedang tidur, kemudian pergi ke pintu kamar
Yusuf. Zulaiha berdiri di pintu kamar Yusuf beberapa saat. Dalam hatinya timbul
keraguan: apakah sebaiknya ia masuk menemui Yusuf seperti yang diinginkannya,
ataukah ia kembali ke tempatnya sendiri di samping suaminya.
Fikiran seperti itu selalu mengganggu hatinya semalaman, sampai
cahaya matahari pagi terlihat masuk melalui jendela-jendela kamarnya. Jika
sudah demikian, ia kembali ke kamar suaminya.
Setiap kali pandangannya bertemu dengan pandangan Yusuf, ia
merasakan keinginan yang kuat untuk selalu berada dekat pemuda itu, dan tak
ingin rasanya berpisah untuk selama-lamanya. Namun, hati kecilnya berkata bahwa
Yusuf tidak memendam perasaan yang sama seperti perasaannya. Pertanyaan yang
selalu mengusik kalbunya adalah: Apakah Yusuf mencintainya sebagaimana ia
mencintai Yusuf? Apakah Yusuf memendam perasaan seperti yang dipendamnya?
Meskipun hati kecilnya berkata bahwa Yusuf tidak menampakkan sikap seperti itu,
ia tidak mau mendengar jawaban itu.
Pada suatu petang, isteri Aziz merasa tidak kuasa lagi hanya
berdiri di ambang cinta yang disimpannya kepada Yusuf. Ia kemudian berdiri
dimuka cermin, mengagumi kecantikan parasnya, seraya berkata kepada dirinya
sendiri, “Adakah, di seluruh Mesir ini, wanita yang kecantikannya melebihi
kecantikanku, sehingga Yusuf menghindar dariku? Tidak boleh tidak, wahai,
Yusuf, hari ini aku akan menjumpaimu dengan segala macam bujukan dan rayuan,
sampai engkau tunduk kepadaku”.
Kemudian ia membuka lemari, dan matanya mengamati setumpuk
pakaian di dalamnya. Dipilihnya salah satu gaunnya yang paling indah, berwarna
merah dengan model yang membangkitkan gairah laki-laki. Manakala gaun itu
dikenakan, maka sebagian auratnya yang seharusnya tersembunyi akan tampak.
Itulah yang justru dikehendakinya. Kemudian ia memakai wangi wangian di sekujur
tubuhnya, yang menyebabkan seorang lelaki akan bergairah karena baunya.
Setelah itu, ia atur rambutnya seindah-indahnya di malam yang
sunyi itu. Setelah menyelesaikan dan menyempurnakan dandanannya, Zulaiha
mengamati sekelilingnya, hingga ia benar-benar yakin bahwa tidak ada seorang
pun pelayannya yang masih menunggunya di situ; semuanya sudah lelap di kamarnya
masing-masing di kegelapan malam itu. Ia pun tahu bahwa suaminya sedang
memenuhi panggilan seorang hakim Mesir dan sibuk dengan urusan-urusannya,
sehingga tidak mungkin ia akan kembali sebelum fajar pagi tiba.
Setelah segalanya beres, pergilah ia menuju kamar Yusuf.
Didapatinya pintu kamar itu tertutup dan lampunya sudah dimatikan. Dengan perlahan
ia mengetuk; satu kali, dua kali … dan tiga kali. Tak lama kemudian, Yusuf pun
bangun menyalakan lampu dan membukakan pintu. Alangkah terkejutnya Yusuf ketika
ia melihat isteri al-Aziz sudah berada di hadapannya. Tapi ia tidak berkata
apa-apa kecuali hanya diam menunduk.
Tiba-tiba Zulaiha masuk ke dalam, mendekatinya dengan ramah, dan
memegang tangannya sambil menutup pintu kamar. Zulaiha merasakan kegelisahan,
ketakutan, dan tak kuasa menatap pandangan kedua mata Yusuf. Ia lalu berpaling
ke arah Yusuf, sedangkan Yusuf selalu berusaha menjauh darinya.
Isteri al-Aziz kemudian berkata, “Apakah maksud semua ini, hai,
Yusuf? Janganlah engkau menjauh dariku, sehingga aku binasa karena rindu
kepadamu”.
Yusuf diam tanpa jawaban.
Isteri al-Aziz mendekatinya lagi seraya berkata, “Aduhai, Yusuf,
betapa indahnya rambutmu!”
Yusuf menjawab, “Inilah sesuatu yang pertama kali akan
berhamburan dari tubuhku setelah aku mati”.
“Aduhai, Yusuf, betapa indahnya kedua matamu!” Bujuk isteri
al-Aziz lagi.
“Keduanya ini adalah benda yang pertama kali akan lepas dari
kepalaku dan akan mengalir di muka bumi!”
Isteri al-Aziz berkata lagi, “Betapa tampannya wajahmu, hai,
Yusuf”.
“Tanah kelak akan melumatnya,” Jawab Yusuf.
Kemudian Zulaiha berkata kepadanya, “Telah terbuka tubuhku karena
ketampanan wajahmu”.
“Syaitan menolongmu untuk berbuat hal itu!” Kata Yusuf.
“Yusuf! Bagaimanapun aku harus mendapatkan apa yang selama ini
kudambakan, dan kini aku datang karenanya”. Kata Zulaiha.
Yusuf menjawab: “Ke manakah aku akan lari dari murka Allah jika
aku mendurhakaiNya?”
Isteri al-Aziz sadar bahwa Yusuf benar-benar tidak mau memenuhi
apa yang ia inginkan. Maka, ia pun lebih mendekat lagi, dan meletakkan badan
Yusuf di atas dadanya. Ia berharap Yusuf akan tertarik kepadanya dan mau
memenuhi keinginannya. Akan tetapi, di luar dugaannya, Yusuf malah menghindar
darinya dan segera berlari hendak keluar dari kamar itu.
Isteri al-Aziz tak habis berfikir mengapa Yusuf sedemikian keras
mempertahankan kesuciannya di hadapan wanita cantik yang telah siap
melayaninya, bahkan lari menjauh darinya. Ia lalu mengejar Yusuf dari belakang
untuk memaksanya. Ketika sudah sangat dekat, dipegangnyalah bagian belakang
baju Yusuf dan ditariknya kuat-kuat. Dengan penuh kemarahan, ia melarang Yusuf
keluar dari kamar.
Akhirnya, Koyaklah bagian belakang baju Yusuf.
Pada saat yang sama, tiba-tiba al-Aziz sudah berada di hadapan
mereka berdua, bersama saudara sepupu Zulaiha. Dengan serta merta isteri
al-Aziz berkata: “Apakah hukuman bagi orang yang akan berbuat serong kepada
isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan siksaan yang pedih?” Dengan
perkataan itu, Zulaiha bermaksud menyatakan bahwa Yusuf telah berbuat yang
melampaui batas atas dirinya.
Al-Aziz sangat marah atas terjadinya peristiwa memalukan itu.
Karena tidak menduga hal itu dilakukan oleh Yusuf, seorang anak terlantar yang
telah dibelinya, dipeliharanya, dan dikasihinya seperti kasih sayang seorang
ayah kepada puteranya sendiri. Tidak mungkin hal itu bisa terjadi?
Yusuf sadar bahwa isteri al-Aziz telah berkata dusta tentang
dirinya dan menuduhnya dengan tuduhan palsu. Maka, segeralah Zulaiha berkata
kepada al-Aziz: “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)”. Allah
ternyata menghendaki bebasnya Yusuf dari tuduhan wanita itu. Seorang bayi yang masih
menyusu, anak salah seorang keluarga Zulaiha yang ketika itu datang ke istana,
tiba-tiba berkata, “Jika bajunya koyak di bagian muka, maka wanita itulah yang
benar dan Yusuf termasuk orang-orang dusta. Dan jika bajunya koyak di bagian
belakang, maka wanita itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang-orang yang
benar”.
Mendengar itu, segeralah al-Aziz menghampiri Yusuf untuk melihat
bajunya. ketika didapatinya baju Yusuf koyak di bagian belakang (karena tarikan
isterinya), mengertilah al-Aziz akan pengkhianatan isterinya dan bersihnya
Yusuf dari tuduhan itu. Kemudian ia berkata: “Sungguh, inilah tipu muslihatmu.
Sungguh dahsyat tipu muslihatmu!”
Kemudian ia memandang Yusuf seraya berkata: “Hai, Yusuf,
berpalinglah dari ini!” Maksud perkataan itu adalah agar Yusuf tidak
memberitakan aib yang terjadi atas diri isterinya itu, sehingga tidak terdengar
oleh orang ramai. Sedangkan kepada isterinya ia berkata: “Dan (kamu, hai
isteriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena sesungguhnya kamu termasuk
orang-orang yang berbuat salah”.
“Celakalah kamu, Yusuf!” Kata isteri al-Aziz dengan kemarahan
yang memuncak, karena Yusuf menolak kecantikan dan kebesarannya. “Tidak! aku
tak akan membiarkanmu, Yusuf. Bagaimana pun akan kucari jalan lain yang dapat
mempedayakanmu, hingga kamu memenuhi apa yang kukehendaki…”
Hari-hari pun berlalu, dan al-Aziz yang kalah dalam urusan itu
berusaha memohon kerelaan isterinya menghadapi kenyataan itu, sementara sang
isteri menyanggahnya dengan dalih bahwa suaminya telah menjatuhkan martabat dan
kemuliaannya. Zulaiha tahu benar bahwa setiap kali ia menampakkan Kebenciannya
kepada suaminya,sang suami benar-benar Berusaha mendekati dan membujuknya
karena ia sangat mencintainya dan merasa lemah di hadapan kecantikan wajahnya
dan ketinggian peribadinya, yang sebenarnya bersifat mulia.
Yusuf sendiri akhirnya berdiam sepanjang hari di dalam kamarnya,
karena peristiwa aib itu terjadi di situ. Ia tidak keluar dari kamarnya kecuali
ada suatu pekerjaan penting yang ditugaskan oleh tuannya, al-Aziz.
Hari-hari yang berat dan keras selalu menghantui isteri al-Aziz.
Ia menanti datang suatu peluang untuk kembali melakukan tipu dayanya atas diri
Yusuf, sebab apa yang baru terjadi itu justru menambah rasa cinta dan keinginan
untuk berhubungan dengan Yusuf, meskipun secara terang-terang ia telah berdusta
atas diri Yusuf untuk menghilangkan keraguan suaminya terhadapnya.
Hari demi hari dirasakan oleh isteri al-Aziz dengan berat dan
terasa lambat berjalan. Di kota, beberapa peristiwa yang tak terduga telah
terjadi. Wanita-wanita di Mesir, ketika itu, tidak ada pembicaraan lain kecuali
tentang peristiwa aib antara isteri al-Aziz dan Yusuf. Yang sungguh
mengherankan, bagaimana peristiwa itu dapat tersebar di seluruh kota, padahal
semua pihak di istana al-Aziz berusaha merahasiakannya.
Dugaan sementara dialamatkan kepada pelayan laki-laki istana dan
sebagian pelayan wanita yang masih ada hubungan keluarga dengannya. Besar
kemungkinan, merekalah yang membocorkan rahasia itu.
Langit ibu kota Mesir penuh dengan gema kisah sekitar kejadian
itu. Dalam setiap kelompok wanita, tidak ada masalah lain yang dibicarakan
kecuali tentang isteri al-Aziz dan Yusuf, semuanya dicurahkan tanpa segan lagi.
Akhirnya, sampailah berita yang menyakitkan itu ke telinga isteri al-Aziz. Dan
tentu saja hal itu menimbulkan kemarahannya yang luar biasa.
Akan tetapi, apa hendak dikata, ia tidak dapat berbuat apa-apa
kecuali menerima kenyataan itu dengan hati yang semakin pedih. “Betapa
perjalanan hidupku menjadi sepotong roti dalam mulut wanita-wanita kota yang
dipenuhi cemuhan dan ejekan.” Keluhnya dalam hati, “padahal, di hari-hari
kemarin, tak seorangpun dari mereka berani menyebut namaku kecuali dengan
segala penghormatan dan kemuliaan”.
Kemudian ketenangan mulai meresap di hati isteri al-Aziz, setelah
jiwanya tergoncang karena kemarahan. Mulailah ia berbicara kepada dirinya
sendiri:” Aku wanita, dan mereka pun wanita. Harus mereka terima hinaan
sebagaimana hinaan yang mereka tujukan kepadaku. Jika mereka memperolok-olokku
dengan lidahnya, maka sesungguhnya olok-olokku nanti lebih keras atas diri
mereka…” Maka, keluarlah dia dari kamarnya menuju beranda istananya yang
menghadap Sungai Nil.
Di tepian sungai itu, ia mulai berfikir, sementara angin lembut
menerpa pepohonan bunga yang mengelilingi istana, membuat harum udara di
sekitarnya. Isteri al-Aziz mulai merenung; fikirannya berputar ke sana kemari,
mengikuti alunan ombak sungai yang tenang.
Tak lama kemudian, wajahnya tampak sedikit berseri, kemudian
mulutnya tersenyum. Telah ditemukan satu cara untuk membereskan masalah itu.
Ya, mengapa ia tidak menghentikan cemuhan wanita-wanita itu tentang dirinya dan
Yusuf dalam suatu pertemuan terbuka? Mengapa ia tidak memanggil wanita-wanita
itu untuk duduk bercakap-cakap seperti biasa ia lakukan sebelum ini, lalu ia
perintahkan Yusuf keluar (menampakkan diri di hadapan mereka)? Nanti mereka
akan sadar dan mengerti mengapa isteri al-Aziz jatuh hati kepada anak
angkatnya.
Kemudian dipanggilnya semua wanita itu ke istana untuk
bersukaria. Kepada mereka dipersembahkan berbagai macam buah-buahan, dan
masing-masing diberi sebilah pisau sebagai alat pemotongnya. Akan dilihat oleh
isteri Al-Aziz apa yang nanti bakal terjadi ketika Yusuf muncul secara
tiba-tiba di tengah-tengah mereka.
Heranlah kebanyakan wanita bangsawan terhadap panggilan isteri
al-Aziz itu. Mereka menyaksikan suasana yang lain dari biasanya. Ruangan
istana, ketika itu, dihiasi dengan penuh kemegahan. Wanita-wanita yang hadir
duduk di kursi yang indah. Di hadapan mereka masing-masing terdapat sepinggan
buah segar dan sebilah pisau pemotongnya.
Semua pandangan hadirin ditujukan kepada barang-barang yang ada
dalam ruangan istana itu. Semuanya diam membisu, tak ada yang berani berbicara
dengan jelas tentang apa yang tersimpan di dada dan mulailah isteri Aziz
membuka acara. Pembicaraan hanya berkisar tentang buah dan masalah-masalah
pesta ria itu, sama sekali jauh dari masalah peristiwa dirinya dengan Yusuf. Ia
berkata bahwa segala yang disediakannya kali ini dimaksudkan sebagai kejutan
bagi wanita-wanita itu.
Di antara wanita-wanita yang hadir dalam jamuan itu, ada salah
seorang yang menyindir. Dengan cara yang cerdik, ia berkisah kepada hadirin
tentang seorang pemudi yang jatuh cinta, dan mati dalam kesedihan karena
laki-laki yang meminangnya tewas di medan perang melawan musuh-musuh negerinya.
Tetapi isteri al-Aziz, dengan lebih cerdik, mengalihkan pembicaraan ke
masalah-masalah lain.
Kemudian ia berkata kepada Yusuf, “Keluarlah (tampakkanlah
dirimu) kepada mereka.”
Maka, keluarlah Yusuf dari tempatnya menuju jamuan wanita-wanita
itu. Betapa terkejutnya wanita-wanita itu demi melihat ketampanan Yusuf. Mereka
pada tercengang dan keheranan. Dan tanpa disadari, mereka memotong jari-jari
mereka sendiri dengan pisau. Mereka mengira sedang memotong buah, padahal tidak
dirasakan darah mengalir dari tangan mereka. Lama-kelamaan mereka baru ingat
dan menyadari apa yang telah mereka lakukan, kemudian berkata, “Maha Besar
Allah. Ini bukanlah manusia. Ia tiada lain adalah malaikat yang mulia”.
Ketika itu wajah isteri al-Aziz menahan sedih dan duka.
Berubahlah wajah nan cantik itu menjadi marah. Ia berkata seraya menunjuk
kepada Yusuf: “Itulah orang yang menyebabkan aku di cela karena (tertarik)
kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menginginkan dirinya, tetapi ia menolak.
Dan (sekarang) jika dia tidak mentaati apa yang kuperintahkan, niscaya ia akan
dipenjarakan dan dia akan menjadi orang yang hina”.
Yusuf mendengar apa yang dikatakan oleh isteri Aziz dengan sikap
yang tenang dan tabah, di hadapan wanita-wanita kota. Ia pun mendengar
keinginan setiap wanita yang hadir, sebagaimana keinginan isteri al-Aziz
terhadapnya. Sambil berlindung kepada Allah, Yusuf berkata, “Tuhanku! Penjara
lebih kusukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Allah
hindarkan aku dari tipu daya mereka, tentulah aku tertarik kepada mereka. Dan
tentulah aku termasuk orang yang jahil”. Allah meneguhkan hamba-hamba-Nya yang
mukmin serta berlindung dan berpegang dengan kebenaran yang diperintahkan
oleh-Nya Maka, Tuhan memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari
tipu daya mereka. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar dan Yang Maha
Mengetahui”.
Pulanglah wanita-wanita kota itu dengan tangan mereka berlumuran
darah. Mereka semua akhirnya sedar bahwa Zulaiha, isteri al-Aziz, terhalang
cintanya kepada Yusuf. Yusuf kemudian meninggalkan ruangan itu dan pergi ke
kamarnya. Isteri al-Aziz tampak duduk sambil berfikir. Ia memang menghendaki
kehinaan atas wanita-wanita yang menghina dirinya dengan Yusuf, dan hal itu
telah selesai ia lakukan. Menanglah ia dengan suatu kemenangan yang dapat
menyembuhkan sakit hatinya.
Akan tetapi, setelah ia lebih dalam berfikir, ia sadari bahwa
perasaan yang ditanggungnya selama ini adalah suatu sebab yang berat baginya.
Ia berbicara dengan dirinya sendiri:”Yusuf telah menghindar dariku dua kali;
sekali dikamarnya dan sekali di hadapan wanita-wanita kota. Sesungguhnya
wanita-wanita kota itu pun mencintai Yusuf sebagaimana aku, tetapi semuanya
tidak memperoleh sesuatu darinya. Ancamanku kepadanya tidak ditakutinya.
Celakalah kamu meskipun aku mencintaimu.”
Pergilah isteri al-Aziz menemui suaminya. Al-Aziz kemudian
bertanya tentang jamuan yang diadakannya. Isterinya menjelaskan bahwa jamuan
itu hanya menambah keburukan baginya.
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Tanya Al-Aziz.
“Jika Yusuf tidak disembunyikan dari seisi istana dan kota, dia
akan selalu berbicara tentang apa yang memburukkanku…” Jawabnya.
Maka, mendekatlah al-Aziz kepada isterinya seraya berkata.
“Bagaimana engkau bisa rela dengan apa yang memburukkanmu?”
Gemetarlah badan wanita itu, dan kemudian berkata: “Kalau
begitu, masukkanlah Yusuf ke dalam penjara, sehingga semua orang akan
melupakannya”.
Al-Aziz menyetujui usul isterinya itu. Tak lama kemudian,
beberapa pengawal istana membawa Yusuf ke penjara. Tatkala Yusuf keluar dari
pintu istana, isteri al-Aziz berdiri di belakang jendela kamarnya sambil
memandanginya. Ia merasa seolah-olah sebagian dari hatinya tercabut, meskipun
dialah yang mendesak suaminya agar memasukkan Yusuf ke dalam penjara.
Tiap hari berlalu, dan kesedihan selalu mewarnai wajah isteri
al-Aziz, sementara suaminya hanya bisa melihat hal itu dengan sikap diam dan
tidak kuasa berbuat sesuatu. Wanita itu bertanya kepada dirinya sendiri:
“Salahkah aku tatkala menyuruh al-Aziz memasukkan Yusuf ke dalam penjara? Ya,
kuharamkan diriku melihat Yusuf… “Sekali lagi ia berfikir dalam kegelisahannya:
“Tetapi, apakah aku bersalah dalam urusan itu?” Ia menyanggah dirinya sendiri
untuk lepas dari azab, seperti seorang dermawan yang haus,tetapi tidak sanggup
menjangkau air yang dipikul di bahunya sendiri.
Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun berjalan
tanpa sepi dari cerita isteri al-Aziz dengan Yusuf. Pada suatu hari, datanglah
utusan raja, memerintahkannya untuk datang keistana. Isteri al-Aziz sangat
heran, sebab hal itu belum terjadi sebelumnya. Ia bertanya kepada suaminya apa
kira-kira yang menyebabkan sang raja memanggilnya ke istana.
Al-Aziz menjawab, “Mungkin ada urusan yang berhubungan dengan
Yusuf.”
Mendengar nama Yusuf disebut lagi, lenyaplah segala dugaan.
Tetapi, benarkah raja hanya berkehendak untuk berbicara dengannya tentang
Yusuf?
Dengan penuh pertanyaan di benaknya, pergilah isteri al-Aziz
menuju istana raja. Di sana didapatinya wanita-wanita yang telah memotong
tangannya beberapa waktu yang lalu, semuanya menghadap Raja Mesir. Sementara
itu, sang raja memandangi wajah para wanita itu satu persatu, kemudian
mengajukan pertanyaan singkat kepada wanita-wanita itu: “Bagaimana keadaanmu
ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?” Mereka
menjawab serentak: “Kami tiada mendapati suatu keburukan padanya (Yusuf)”.
Tiba-tiba, tanpa diminta oleh Raja, isteri al-Aziz berbicara. Ia
merasa telah tiba saatnya untuk berbicara terus terang perihal itu, agar hilang
semua beban dosa karena tindakan aniayanya terhadap Yusuf. Di hadapan Raja,
wanita-wanita kota, dan seluruh yang hadir di situ, ia menerangkan: “Sekarang
jelaslah kebenaran itu. Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya
(kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar”. (Yusuf
berkata), “Yang demikian itu agar dia (al-Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya
aku tidak berkhianat kepadanya dan bahwasanya Allah tidak merestui tipudaya
orang-orang yang berkhianat. Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),
karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha
Penyayang”.
Terjadi perbedaan pendapat tentang kehidupan perempuan itu selanjutnya.
Sebagian orang berpendapat bahwa sejak itu isteri al-Aziz hidup bersama
kesedihan dan putus asa karena ingatannya kepada Yusuf.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa isteri al-Aziz itu akhirnya
pindah ke suatu tempat yang jauh, dan tiada kabar beritanya sama sekali. Yang
jelas, kehidupan wanita itu menjadi terganggu, karena cintanya kepada Yusuf.
Namun ada yang mengisahkan setelah peristiwa itu Zulaiha
bertaubat kepada Allah SWT. Ketika Yusuf diutus menjadi Rasul dan penguasa
menggantikan Al-Aziz, Nabi Yusuf berjumpa dengan Zulaiha yang ketika itu
keadaannya sudah tua. Akhirnya Allah menjadikan Zulaiha muda remaja dan
berkawin dengan Nabi Yusuf. Maka jadilah Zulaiha sebagai seorang wanita yang
solehah yang sentiasa beramal kepada Allah SWT.
***
(Kisah Zulaiha ini dapat di baca dalam Al-Quran surah Yusuf ayat
21-53)
0 komentar:
Posting Komentar