Senang di Dunia, Senang di Akhirat
Hampir setiap malam, di teras rumah yang berada di depan rumah
saya —maksud saya: rumah kontrakan saya— di daerah pinggiran Jakarta, beberapa
pemuda selalu menghabiskan waktu selama beberapa jam untuk bersenang-senang:
menikmati lintingan ganja. Duduk melingkar sambil membicarakan apa saja.
Wajah-wajah mereka kusam. Mata di wajah mereka merah.
Suara-suara mereka terdengar berat khas orang mabuk. Terkadang tertawa
terbahak-bahak. Kencang. Dalam kondisi seperti itu tentu saja mereka tidak bisa
diharapkan untuk memahami suasana. Justru kami —saya dan beberapa penghuni
kontrakan lain, para pendatang— seolah-olah yang diharuskan memahami kesenangan
para pemuda setempat itu.
Membiarkan mereka meski kegaduhan mereka terkadang mengganggu.
Apalagi rumah yang terasnya mereka tempati untuk nongkrong, penghuninya adalah
keluarga muda yang memiliki bayi baru berumur sekian bulan. Mungkin, para
pemuda itu berpikir: kami tidak akan berbuat macam-macam jika kalian membiarkan
kami menikmati kesenangan kami. Padahal dengan seperti itu pun mereka sudah
berbuat macam-macam.
Mereka akan bubar jika lintingan-lintingan ganja itu telah
habis. Setelah itu mereka melanjutkan dengan kesenangan yang lain, yaitu
bermain remi sambil berjudi kecil-kecilan, sampai dini hari. Hampir setiap hari
mereka seperti itu. Kecuali jika mereka kehabisan ‘bekal’. Untuk beberapa hari,
teras rumah yang berada di depan rumah saya itu akan sepi. Setelah bekal
kembali terkumpul, mereka pun melanjutkan kesenangan mereka.
Setiap kali melihat para pemuda itu menikmati kesenangan mereka,
saya selalu teringat kisah dalam al-Risslah al-Qusyayriyyah fi ‘Ilm
al-Tashawwuf, sebuah kitab tentang tasawuf yang telah berusia lebih dari seribu
tahun karya Abu Qasim al-Qusyairi.
Suatu ketika, seorang sufi bernama Ma’ruf al-Kurkhi sedang
duduk-duduk bersama murid-muridnya. Kemudian, lewatlah rombongan yang tampaknya
sedang merayakan sesuatu. Mereka memainkan alat-alat musik dan bernyanyi-nyanyi
sambil meminum minuman keras.
“Lihatlah orang-orang itu,” kata salah seorang muridnya. “Mereka
berbuat maksiat secara terang-terangan. Mereka tidak malu kepada Tuhan. Maka,
apalagi kepada sesama manusia.”
“Doakanlah mereka agar celaka,” kata si murid kepada Ma’ruf.
Di mana-mana, guru akan selalu lebih bijak daripada
murid-muridnya. Sebab itulah orang Jawa mengatakan, ‘guru’ adalah singkatan
dari ‘digugu lan ditiru’ yang artinya ‘dituruti dan diteladani’. Jika ada orang
yang dianggap guru tapi tak berperilaku selayaknya guru, sehingga tak patut
digugu lan ditiru, ia akan tetap menjadi guru, hanya saja dengan singkatan yang
berbeda, yaitu ‘guru’ singkatan dari ‘wagu tur saru’ yang artinya ‘tak pantas
dan cabul’.
Ma’ruf al-Kurkhi kemudian mengangkat tangannya. Ia berdoa, “Ya
Tuhanku! Seperti mereka bisa bersenang-senang di dunia ini, buatlah mereka bisa
bersenang-senang di akhirat nanti.”
“Kami tidak memintamu berdoa seperti itu,” kata si murid.
Ma’ruf al-Kurkhi menjawab, “Jika di akhirat kelak mereka bisa
bersenang-senang, artinya Tuhan mengampuni maksiat mereka di dunia.”
Ma’ruf ingin mengajarkan kepada para muridnya bahwa dunia adalah
tempat kemungkinan-kemungkinan. Apa yang tampak buruk tidak selalu akan
berakhir tetap dalam kondisi buruk. Sebab itu, ia tak perlu dikutuk.
Itulah yang disebut dengan al-raja’ dalam ilmu tasawuf, yaitu
mengharap segala sesuatu menjadi baik, atau berakhir dengan kebaikan. Orang
yang menjaga al-raja’ dalam dirinya tidak akan pernah merasa puas dengan
kebaikan, dan sebab itu ia tidak mengutuk keburukan, tapi berharap keburukan
itu akan menjadi atau berakhir dengan kebaikan
0 komentar:
Posting Komentar